Jumat, 10 Februari 2012
ESTER; Sebuah Monolog dari Kitab Ester, Pasal 4
Penokohan: Ester
ESTER, seorang perempuan Yahudi, permaisuri Raja Ahasyweros, duduk di depan meja riasnya yang bertatahkan emas permata, di dalam kamarnya yang megah di Istana Kerajaan Persia di Kota Susan. Ia menatap wajah dirinya di depan cermin besar* meja rias, rona kesedihan dan kecemasan membayangi wajahnya. Lalu ia berbicara pada bayangannya di cermin, seperti sedang berbicara pada seseorang yang tidak kelihatan.
ESTER (alunan musik terdengar, Ester menyenandungkan kidung pujian, lalu perlahan menatap bayangannya di cermin, berbicara pada seseorang yang tidak nampak di dalamnya. spotlight menyorotinya):
Aku tidak dapat mempercayai pendengaranku! Semua yang dikatakan Hatah, pelayanku, bagaimana bisa ini terjadi? Ketika tadi pagi kudengar pamanku, Mordekhai, sedang berkabung, kupikir, pasti ia hanya masih kesal karena Haman, orang Agag itu, naik pangkat. Ternyata bukan itu. (menunduk, diam sejenak)
(Mengangkat wajah, menatap cermin kembali) Aku sudah menyuruh orang untuk mengirimkan pakaian pada paman, agar janganlah ia larut dalam perkabungan. Supaya ia segera menanggalkan kain kabungnya itu, dan memakai pakaian yang kukirimkan. (lirih) Tetapi, ia menolaknya. (nampak seperti menahan air matanya)
Lalu kuperintahkan Hatah untuk mencarinya, menanyakan padanya, mengapa ia menolak pakaian yang kukirimkan tadi. Dan…. (menatap sebuah gulungan surat yang terletak di atas meja rias) Dan….. (menarik nafas) Hatah pulang…. (meraih gulungan surat itu, menggenggamnya) Dengan membawa ini….
(membuka gulungan surat, terlihat sedih dan ketakutan) Sepuluh ribu talenta perak, (meremas gulungan surat di tangannya, menangis lirih) harga yang dibayarkan Haman pada perbendaharaan raja untuk memusnahkan seluruh saudara sebangsaku yang ada di kerajaan ini.
(jeda)
(menghapus air mata di wajah)
Lalu kudengar dari Hatah, paman Mordekhai memintaku pergi menghadap baginda raja, untuk memohon padanya agar membebaskan bangsaku. (berdiri dari kursi) Mustahil..!!!
(melangkah ke sisi kanan meja rias)
Bukankah semua orang di negeri ini tahu, tidak ada seorangpun yang dapat menghadap baginda raja di pelataran dalam istana bila yang mulia tidak memanggilnya? Bukankah undang-undang ini sudah sejak lama ada, bahkan sebelum aku menginjakkan kakiku di istana ini? Dan bukankah hanya ada satu hukuman bagi mereka yang lancang melanggarnya? (menghela nafas) Mati.
(melangkah ke sisi kiri meja rias)
Tetapi paman menjawab pesanku; “Ester, jangan kira karena engkau di dalam istana raja, hanya engkau yang akan terluput dari antara semua orang Yahudi. Sebab sekalipun engkau pada saat ini berdiam diri saja, bagi orang Yahudi akan timbul juga pertolongan dan kelepasan dari pihak lain, dan engkau dengan kaum keluargamu akan binasa. Siapa tahu, mungkin justru untuk saat yang seperti ini engkau beroleh kedudukan sebagai ratu.”
(menghela nafas panjang, menatap ke atas)
Bagaimana bisa ia berkata seperti itu? Tidak tahukah pamanku itu, mendengar ia sedang berkabung saja hatiku sudah sangat merana. Aku yakin pamanku yang bijaksana itupun tahu, bila baginda raja telah menandatangani sebuah undang-undang, bahkan memateraikannya dengan cincin materai raja, maka tidak ada keputusan yang dapat dibatalkan. (air mata berjatuhan kembali dari matanya) Mengapa ia malah memintaku untuk membujuk raja membatalkan keputusannya, dengan mempertaruhkan nyawaku sendiri?
(menghempaskan gulungan surat ke lantai, tubuhnya bergetar hebat)
Bagaimana mungkin aku sanggup menanggung beban seberat ini di pundakku? Tidak pernah sebelumnya aku mengira ini semua akan terjadi. (kembali menatap wajahnya di cermin) Siapalah aku ini sampai harus memperjuangkan hak hidup bangsaku di hadapan raja?
(merentangkan kedua tangannya ke kanan-kiri)
Bagaimana bisa aku memohonkan sesuatu yang nyaris mustahil dikabulkan raja? Seperti sedang berjingkat menyusuri jalan setapak yang sempit di gigir yang curam. (menghela nafas panjang) Mengapa harus aku? Mengapa? (terisak)
(berlutut, melipat tangan di dada, kepala menengadah)
Aku memerlukan Engkau. Sungguh-sunguh membutuhkan uluran tangan-Mu. Hanya Engkau yang kubutuhkan dalam setiap keadaan, terlebih saat ini. Taruh keberanian dalam hatiku. Agar aku mampu menghadapi semua ini. Hatiku percaya, takkan pernah hilang pengharapan. (menundukkan kepala, kembali menyenandungkan kidung pujian)
(jeda)
(mengangkat wajahnya, berdiri, duduk di kursi meja rias, menatap wajah di cermin, tersenyum)
Ya! Keputusanku sudah bulat. Akan kujawab pesan paman, agar ia mengumpulkan semua orang Yahudi yang terdapat di Susan dan berpuasa untukku. Tidak makan dan minum tiga hari lamanya, baik waktu malam, maupun siang. Aku serta dayang-dayangku disini pun akan berpuasa, dan nanti aku akan masuk menghadap raja.
(mengepalkan tangan, menaruhnya di dada)
Ya! Aku akan menghadap raja. Menantang undang-undang, mempertaruhkan leherku sendiri.
Bila memang terpaksa aku mati, biarlah aku mati. Karena aku, Ester, tidak takut lagi.
(spotlight meredup, alunan musik kembali terdengar).
---SELESAI---
*catatan: properti cermin (meja rias ratu), hanya berbentuk bulatan kayu yang menempel pada meja rias, tanpa kaca, sehingga ketika Ester duduk di hadapannya, nampak langsung menatap penonton.
Jakarta, 10 Februari 2012
-Anggi Pradesa-
0 comments:
Posting Komentar