RSS

Minggu, 26 Agustus 2012

BERDOA DAN BERSERU BAGI TUBUH KRISTUS YANG DIBUNGKAM PILU

(Sebuah refleksi dari film “The Eastern Bride”)
The Eastern Bride. Film berdurasi hampir satu jam ini bercerita tentang tubuh Kristus yang teraniaya di salah satu negara Timur Tengah dan juga di China. Cerita dimulai ketika seorang lelaki Kristen bernama Pete ditugaskan oleh perusahaan tempat ia bekerja untuk kembali mengunjungi salah satu negara di Timur Tengah dalam rangka perjalanan bisnis. Di negara itu Pete memiliki sahabat yaitu seorang pemuda Kristen bernama Masoud. Selama berkunjung di negara yang penduduknya didominasi oleh umat Islam tersebut, Pete mendengar cerita bahkan menyaksikan ketidakadilan, diskriminasi, dan penganiayaan terjadi atas tubuh Kristus. Salah satu tragedi yang baru saja menimpa keluarga Masoud adalah ketika sekelompok ekstrimis Islam melemparkan granit ke dalam gereja yang digembalakan oleh ayah Masoud, hanya lima bulan sebelum kedatangan Pete kembali ke negara itu. Akibat dari serangan tersebut, tidak hanya gereja menjadi hancur porak poranda, tetapi juga memakan korban jiwa, ayah Masoud.
Kemudian, sebuah peristiwa yang menyesakkan terjadi. Masoud ditangkap oleh aparat kemananan tepat pada saat pesta pernikahannya berlangsung. Ia ditangkap atas tuduhan melakukan percobaan pembunuhan terhadap beberapa muslim sekaligus penghinaan terhadap Nabi Muhammad. Tetapi yang sesungguhnya, tuduhan yang dilontarkan oleh beberapa muslim yang ikut dalam penangkapan Masoud tidaklah benar, melainkan fitnah belaka. Bahkan, beberapa hari sebelum penangkapan Masoud di hari pernikahannya itu, orang-orang muslim justru menyerang Rheema, mempelai perempuan Masoud, dan adik perempuan Rheema karena mereka tidak mengenakan hijab dan busana muslim yang tertutup saat berbelanja di pasar.
Sementara itu, Alena, kawan dekat Pete, seorang reporter perempuan Kristen yang bekerja di stasiun televisi BBC, menerima tugas untuk berkunjung ke China dan membuat liputan mengenai perubahan besar yang dilakukan pemerintah negara tersebut. Alena menceritakan penugasannya pada Pete, yang langsung memberi tahu bahwa di China, khususnya di desa-desa kecil, masih terjadi pelarangan beribadah dan beragama yang disertai dengan penganiayaan bagi siapa saja yang melanggarnya. Pete berkata, pemerintah China hanya akan memperlihatkan pada Alena apa yang mereka inginkan untuk dilihat dunia. Akan tetapi Alena menyanggah perkataan Pete, dan berangkatlah ia dengan optimisme akan mendapat sebuah liputan yang mengesankan mengenai negara yang berpaham komunis tersebut.
Sesampainya di China, Alena disambut oleh para pegawai pemerintah yang membawanya melihat-lihat kota Beijing, dan selama beberapa hari ia diperkenalkan pada warisan budaya dan negeri yang indah. Akan tetapi setelah beberapa saat, Alena mulai melihat realita yang sesungguhnya. Meski dikatakan bahwa sekarang China telah membuka diri bagi dunia, dan kebebasan beragama telah berlangsung di sana, Alena menemukan bahwa pelarangan beribadah dan beragama memang masih terjadi. Dengan bantuan seorang staf Open Doors yang pernah ditemui Pete di Cape Town, Afrika Selatan, Alena mengunjungi dua orang pendeta yang dipenjara karena menyelenggarakan persekutuan doa dan pendalaman Alkitab di sebuah desa. Kedua pendeta tersebut memang pada akhirnya dibebaskan, tetapi mereka dilepaskan dari penjara dengan denda sangat tinggi yang menguras seluruh harta mereka. Alena mewawancarai kedua pendeta yang telah dibebaskan dari penjara dan menyiarkan hasilnya di stasiun televisi tempatnya bekerja.
Pelajaran berharga yang menjadi perenungan pribadi ketika saya menyaksikan kisah-kisah mengenai tubuh Kristus yang teraniaya adalah betapa berharganya sebuah kebebasan beragama dan beribadah. Saat ini di seluruh dunia ada banyak orang Kristen yang bertahan dalam penderitaan demi menghadapi kejahatan dan penganiayaan karena iman mereka pada Kristus. Inilah kenyataan yang dihadapi tubuh Kristus di seluruh dunia. Tetapi seharusnya kita tidak heran, karena penganiayaan memang sudah menjadi santapan sehari-hari para pengikut Kristus yang setia. Bahkan, sejak kedatangan-Nya ke dunia, dan segera setelah pengorbanan-Nya di atas kayu salib untuk menebus dosa-dosa kita, penganiayaan demi penganiayaan terjadi.
Pada zaman kekaisaran Nero (sekitar tahun 54 – 68 M), penganiayaan yang mengerikan terhadap orang-orang Kristen terjadi secara besar-besaran. Orang-orang Kristen dituduh sebagai biang keladi pembakaran kota Roma di tahun 64 M. Padahal yang sebenarnya, Nero sendirilah yang melakukan pembakaran itu, sementara orang-orang Kristen dikambinghitamkan, ditangkap, dan dibunuh dengan cara yang paling kejam. Mereka disalibkan, banyak pula yang diikat dengan kulit binatang dan dilemparkan ke arena bertarung para Gladiator di Colosseum, untuk dicabik-cabik oleh singa-singa sebagai hiburan bagi para penonton. Ada pula orang-orang Kristen yang diikat di tiang-tiang di dalam taman milik Nero, kemudian tubuh mereka dilumuri ter dan dibakar. Tubuh-tubuh yang terbakar itu menjadi lampu penerang taman di malam hari bagi Nero yang menaiki kereta kudanya dengan bertelanjang bulat. Sembari mengulas senyum dingin, ia berkeliling taman tersebut demi menyaksikan dan menikmati setiap detik dari penderitaan mereka yang sedang sekarat itu. Pada masa ini pula, berdasarkan tradisi gereja mula-mula, Paulus ditangkap, diadili, dan dihukum mati dengan cara dipenggal kepalanya.
Billy Graham dalam salah satu buku yang ditulisnya bercerita, ketika ia berada di sebuah negara di mana orang Kristen dipandang dengan penuh kecurigaan dan ketidaksenangan, seorang pemimpin pemerintah berkata padanya sambil mengedipkan mata, “Orang Kristen kelihatannya bertumbuh dengan pesat di bawah penganiayaan. Mungkin kami harus membuat mereka makmur, maka mereka akan lenyap.” Ketika membaca mengenai sindiran yang dilontarkan pemimpin pemerintah tersebut, sudah seharusnya kita semua tersentak dan tersadar. Sindiran itu menjadi semacam wake up call bagi kita, anak-anak Tuhan, yang hidup aman dan nyaman di seluruh dunia. Kita tidak bisa hanya tinggal diam tanpa berbuat apa-apa. Kita harus bangun dan menguatkan apa yang masih tinggal, yang sudah hampir mati, seperti tertulis dalam Wahyu 3:2, yang mengilhami pelayanan Brother Andrew dan Open Doors yang ia dirikan.
Untuk itu, ada dua hal yang dapat kita lakukan ketika mendengar (apalagi menyaksikan) tentang tubuh Kristus yang teraniaya. Hal pertama yang harus kita lakukan adalah berdoa bagi mereka. Mungkin kita tidak mengenal mereka secara pribadi, begitupun sebaliknya. Tetapi kita mengetahui penderitaan atas penganiayaan yang mereka terima dan hadapi karena iman mereka pada Kristus. Berdoalah, agar mereka diberikan kekuatan dan penghiburan dalam kesesakan. Berdoalah, agar kiranya sukacita serta damai sejahtera surgawi memenuhi hati mereka. Berdoalah, agar pintu-pintu terbuka dengan mudah, dan jalan keluar menuju kebebasan dan kedamaian dapat segera terjadi. Berdoalah, karena mereka sangat membutuhkan doa-doa kita. Berdoalah, selagi masih ada waktu dan kesempatan untuk melakukannya.
Doa bukanlah sekadar harapan, tetapi lebih dari pada itu, doa adalah suara iman yang diarahkan pada Allah dengan penuh kasih. Doa tidak memiliki batasan. Ia dapat melompati ribuan kilometer jarak, menyeberangi benua, mengarungi samudera, dan dengan penuh kuasa sanggup menguatkan tubuh yang lemah, bahkan mengubah keadaan sesulit apapun. Itulah sebabnya mengapa doa seringkali disebut sebagai senjata terbesar orang Kristen. Di dalam film The Eastern Bride, Rheema sang mempelai perempuan berkata bahwa doa dari saudara-saudara seimanlah yang dapat menguatkannya melewati pencobaan ini. Bila kita, anak-anak Tuhan di seluruh dunia, sepakat untuk berdoa bagi tubuh Kristus yang teraniaya, maka kita akan menyaksikan kemuliaan Allah dinyatakan.
Hal yang kedua adalah, meneruskan informasi mengenai tubuh Kristus yang teraniaya pada gereja dan tubuh Kristus yang aman dan nyaman. Pete dan Alena memutuskan untuk menyuarakan penganiayaan ini pada dunia. Mereka tersadar, Masoud di Timur Tengah dan para hamba Tuhan di China membutuhkan segala macam dukungan dalam berbagai bentuk dari saudara-saudara seiman di seluruh dunia. Mereka tersadar, bila mereka tidak menyuarakan penderitaan yang dialami Masoud dan para hamba Tuhan di China, maka mereka tidak lebih dari orang-orang apatis yang berdosa terhadap tubuh Kristus. Apa yang dilakukan Pete dan Alena adalah tindakan yang benar dan patut dicontoh anak-anak Tuhan di seluruh dunia ketika mengetahui atau menyaksikan penganiayaan terhadap tubuh Kristus terjadi.
Gereja-gereja aman dan nyaman di seluruh dunia berhak tahu tentang tubuh Kristus yang teraniaya ini, agar gereja dapat merasa terbeban untuk (minimal) berdoa bagi mereka, terlebih lagi dapat bergerak mengumpulkan bantuan bagi mereka dalam berbagai bentuk, dan merupakan kewajiban kita untuk menyampaikan ini pada gereja. Sebab Tuhan berfirman di dalam 1 Kor 12:26, “Karena itu jika satu anggota menderita, semua anggota turut menderita….” Ini tugas kita semua. Berserulah! Bersuara bagi tubuh Kristus yang teraniaya, bagi mereka yang dibungkam pilu!
Selain kedua hal di atas, ada satu langkah yang tak kalah pentingnya yang dapat kita lakukan yaitu mengadakan kontak, baik mengunjungi mereka maupun sekadar mengirimkan surat yang berisi doa, simpati, dan dukungan. Ketika Pete dan Alena mengunjungi Masoud di penjara, Masoud dan istrinya, Rheema, sangat bersukacita atas kehadiran mereka. Kehadiran kita sebagai saudara seiman yang prihatin akan sangat berarti bagi mereka, terlebih bila kita mendoakan mereka secara langsung dalam kunjungan itu. Mereka akan dipenuhi sukacita dan kelegaan ketika mengetahui bahwa mereka tidak sendiri menghadapi ini semua. Tetapi bukan hanya itu, ketika kita mengunjungi mereka, kita pun pasti akan memperoleh sesuatu yang luar biasa. Di dalam salah satu website Open Doors, Dr. Carl Moeller, President of Open Doors USA berkata, “I never imagined how meeting them in person would transform my own faith so radically.” Dr. Carl Moeller dengan jelas mengatakan bahwa imannya diubahkan secara radikal ketika bertatap muka dengan mereka. Oleh karena itu, saya percaya tidak hanya mereka dikuatkan, tetapi kita pun pulang dari kunjungan itu dengan membawa api iman yang lebih menyala-nyala.
Saya merasa sangat bersyukur dapat diberikan kesempatan untuk bergabung dalam Open Doors Indonesia. Mata saya dibukakan oleh Tuhan ketika membaca kisah maupun menonton film mengenai saudara-saudara seiman yang dianiaya karena iman Kristen mereka. Ketika mengetahui bahwa setiap hari, bahkan di setiap saat, banyak saudara seiman yang dianiaya karena iman Kristen mereka, iman percaya saya kepada Yesus Kristus justru semakin dikuatkan. Kalau saya masih dapat menjejakkan kaki di muka bumi, berjalan dengan perasaan aman setiap hari, dan menikmati setiap detik dari kehidupan ini, maka sudah sepantasnya saya mengucap syukur pada Tuhan dan berkomitmen untuk sungguh-sungguh melayani Tuhan dengan menjadi suara bagi tubuh Kristus yang teraniaya. Hidup saya telah ditebus dengan darah yang sangat mahal dan karenanya saya berhutang pada Kristus. Berhutang untuk menyelesaikan tugas dan kewajiban saya, yaitu berdoa dan berseru bagi tubuh Kristus yang dibungkam pilu. ***** Jakarta, 27 Agustus 2012 -AnggiPradesa-